Beranda | Artikel
Hadis Serba Larangan dalam Jual Beli (bagian 02)
Kamis, 1 Oktober 2015

Larangan 2 Syarat dalam Jual Beli

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Kita beralih pada kajian tentang larangan yang kedua, tidak boleh ada 2 syarat dalam jual beli.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ

“Tidak boleh ada dua syarat dalam jual beli.” (HR. Ahmad 6671, Abu Daud 3506, Turmudzi 1279 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)

A.-Atsram menceritakan, ada orang yang bertanya kepada Imam Ahmad, “Banyak orang tidak mau ada syarat dalam jual beli. Bagaimana pendapat anda?”

Jawab beliau,

الشرط الواحد لا بأس به في البيع ، إنما نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن شرطين في البيع

Satu syarat tidak jadi masalah dalam jual beli. Yang dilarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dua syarat dalam jual beli. (al-Mughni, 4/156).

Diantara dalil boleh adanya syarat tambahan dalam jual beli adalah transaksi yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli ontanya.

Kita simak hadisnya,

Jabir radhiyallahu ‘anhu bercerita,

Saya pernah melakukan safar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu, onta yang saya naiki jalannya lambat, selalu ketinggalan rombongan. Hingga aku bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Ada apa dengan ontamu?” tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Jalannya lambat.” Jawabku.

“Kamu punya tongkat?” “Berikan kepadaku.” Pinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Aku berikan sebuah tongkat, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul ontaku sambil membentaknya. Seketika itu dia berlari, hingga bisa berada di depan rombongan.

“Jual onta itu kepadaku seharga 4 dinar, boleh?” tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Tidak perlu beli Ya Rasulullah, saya hibahkan untuk anda.”

“Jual onta itu, saya beli.” pinta Nabi.

Lalu kata Jabir,

فَبِعْتُهُ مِنْهُ بِخَمْسِ أَوَاقٍ عَلَى أَنَّ لِى ظَهْرَهُ إِلَى الْمَدِينَةِ

“Aku jual onta itu seharga 5 uqiyah, dengan syarat aku boleh menaikinya sampai Madinah.”

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلَكَ ظَهْرُهُ إِلَى الْمَدِينَةِ

“Kamu punya hak untuk menaikinya sampai Madinah.” (HR. Bukhari 2309 & Muslim 4187)

Dalam hadis ini, Jabir mengajukan syarat ketika menjual ontanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan syarat itu disetujui oleh beliau.

Macam-macam Syarat dalam Jual Beli

Apa yang dimaksud 2 syarat dalam jual beli? untuk memahami itu, kita perlu merinci macam-macam syarat dalam jual beli,

Pertama, syarat yang merupakan bagian dari konsekuensi akad

Seperti, serah terima uang dan barang, adanya khiyar majlis, adanya kejelasan barang, dst.

Ulama sepakat dibolehkan memberikan syarat semacam ini tanpa batas, boleh dengan jumlah berapapun.

Artinya, syarat semacam ini berlaku, baik disebutkan di akad maupun tidak.

Ibnu Qudamah mengatakan,

إن شرط ما يقتضيه العقد لا يؤثر فيه بغير خلاف

“Sesungguhnya syarat yang menjadi konsekuensi akad, tanpa ada perbedaan pendapat ulama. (al-Mughni, 4/308)

Kedua, syarat yang bukan bagian dari konsekuensi akad, namun untuk kesempurnaan akad

Seperti pembayaran tertunda, adanya khiyar selama 3 hari, ada jaminan, atau syarat saksi. Ini dibolehkan dengan sepakat ulama, meskipun lebih dari satu.

Ibnu Qudamah mengatakan,

وشرط ما هو من مصلحة العقد ، كالأجل ، والخيار ، والرهن ، والضمين ، وشرط صفة في المبيع ، كالكتابة ، والصناعة ، فيه مصلحة العقد ، فلا ينبغي أن يؤثر أيضا في بطلانه

Syarat yang posisinya untuk kesempurnaan akad, seperti penundaan pembayaran, hak khiyar ditambah, gadai, penjamin, syarat kriteria tertentu pada barang, atau syarat dicatat, atau diproduksi dengan model tertentu, yang itu untuk kepentingan akad. Semacam ini seharusya tidak membatalkan. (sehingga termasuk dibolehkan dengan sepakat ulama). (al-Mughni, 4/308)

Ketiga, syarat yang tidak ada hubungannya dengan konsekuensi akad dan tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan dan kesempurnaan akad.

Inilah bagian syarat yang diperselisihkan ulama. Berikut rinciannya,

Pendapat pertama, tidak boleh ada 2 syarat dalam jua beli. Jika ini terjadi, maka jual belinya batal.

Ini adalah madzhab hanafiyah, salah satu pendapat Syafiiyah, dan madzhab hambali menurut riwayat yang masyhur. Bahkan sebagian ulama mengatakan, sepakat dilarang. (Nailul Authar, 5/242).

Pendapat kedua, akad jual beli tetap sah, namun syaratnya batal, tidak berlaku. Ini merupakan salah satu pendapat Ahmad, sebagaimana keterangan al-Mardawi dalam al-inshaf (4/251).

Pendapat ketiga, jual beli sah dan syaratnya juga dan berlaku. Bahkan meskipun lebih dari dua syarat. Selama bukan syarat yang haram. Pendapat Ini merupakan salah riwayat dari Imam Ahmad, dan yang dikuatkan Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qoyim.

Al-Mardawi mengatakan,

روى عن الإمام أحمد رحمه الله تعالى أنه فسر الشرطين المنهي عنهما بشرطين فاسدين

Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, bahwa beliau menafsirkan dua syarat yang dilarang ini dengan dua syarat yang terlarang. (al-Inshaf, 4/251).

Ketika Syaikhul Islam berbicara masalah syarat, beliau mengatakan,

أما إذا لم يشتمل على واحد منهما إذا لم يكن لغوا ولا اشتمل على ما حرمه الله ورسوله فلا وجه لتحريمه، بل الواجب حله ؛ لأنه عمل مقصود للناس يحتاجون إليه

Jika syarat itu tidak mengandung salah satu dari pelanggaran itu, (melangggar konsekuensi akad dan melanggar aturan Allah), bukan syarat yang dianggap tidak sah dan tidak mengandung apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada alasan untuk mengharamkannya. Bahkan wajib dihalalkan. Karena ini termasuk praktek yang menjadi tujuan manusia, yang mereka butuhkan. (al-Fatawa al-Kubro, 4/94).

Tarjih

Semua pendapat yang melarang adanya dua syarat dalam jual beli, beralasan dengan makna dzahir dari hadis di atas. Dan berdalil dengan makna dzahir hadis ini tidak diterima, karena makna nya diperselisihkan. Sementara terdapat kaidah mengatakan,

إذا تَطرَّق إليه الاحتمال، سقط به الإستدلال

Jika ada kemungkinan makna, maka gugur untuk digunakan dalil.

Dalilnya shahih, namun menggunakan dalil ini untuk menghukumi, tidak boleh ada dua syarat apapun dalam jual beli, adalah pendalilan yang tidak tepat. Mengingat banyak dalil lain yang menunjukkan bolehnya menetapkan banyak syarat dalam jual beli.

Diantaranya,

[1] firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (QS. al-Maidah: 1)

Artinya, setiap akad yang halal, tidak mengandung unsur larangan, wajib ditepati. Sekalipun berisi banyak syarat.

[2] hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ

Kaum muslimin harus memenuhi setiap syarat yang ditetapkan untuk mereka. (HR. Abu Daud 3596, Daruquthni 2929 dan dishahihkan al-Albani).

Hadis ini menunjukka bahwa hukum asal setiap syarat, wajib dipenuhi seorang muslim. Tidak boleh keluar dari hukum asal ini, kecuali berdasarkan dalil.

[3] hukum asal dalam muamalah adalah sah dan mubah. Dan ini mencakup baik akadnya maupun syaratnya. Selama tidak ada dalil yang melarang.

Syaikhul Islam mengatakan,

إن العقود والشروط من باب الأفعال العادية. والأصل فيها عدم التحريم، فيستصحب عدم التحريم فيها حتى يدل دليل على التحريم

Bahwa semua bentuk akad dan syarat, termasuk bagian dari adat, yang hukum asalnya tidak haram. Sehingga dipertahankan hukum tidak haram, sampai terdapat dalil yang menunjukkan bahwa itu haram.. (Majmu’ al-Fatawa, 29/150).

[4] sebagian ulama menafsirkan hadis ini dengan syarat yang batal (syarat fasid). Diantaranya al-Khithabi. Beliau mengatakan,

وأما ما يفسد البيع من الشروط فهو كل شرط يدخل الثمن في حد الجهالة أو يوقع في العقد أو في تسليم المبيع غرراً أو يمنع المشتري من اقتضاء حق الملك من المبيع

Syarat yang membatalkan jual beli adalah semua syarat yang dampaknya membuat harga tidak jelas, atau ada unsur gharar (tidak jelas) dalam akad atau penyerahan barang, atau syarat yang menghalangi pembeli untuk memanfaatkan hak milik dari barang. (Ma’alim as-Sunan, 3/42).

Keterangan yang disebutkan al-Khithabi, seperti jual beli kredit tapi jatub temponya tidak jelas. Atau disyaratkan jika dia beli maka harus dijual kembali ke dia (jual beli inah), dst.

Ada juga yang menafsirkan bahwa makna larangan dua syarat dalam hadis ini adalah bai’ inah, sebagaimana keterangan Ibnul Qoyim. (Tahdzib as-Sunan, 5/146).

Allahu a’lam.

Bersambung, insyaaAllah…

  1. Hadis Serba Larangan dalam Jual Beli (Bagian-1)

Oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

PengusahaMuslim.com

SPONSOR dan DONATUR.

  • SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
  • DONASI hubungi: 087 882 888 727
  • REKENING DONASI : BNI SYARIAH 0381346658 / BANK SYARIAH MANDIRI 7086882242 a.n. YAYASAN YUFID NETWORK

Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/4856-hadis-serba-larangan-dalam-jual-beli-bagian-02.html